JATIMRAYA.COM, Pusat Kajian Antikorupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya mengungkap temuan survei mereka mengenai politik dinasti di Jawa Timur, pada Sabtu (28/10). Hasilnya, 26% pemilih muda di Jawa Timur percaya pada politik dinasti, 33% tidak percaya, dan mayoritas 41% menyatakan acuh tak acuh terhadap isu tersebut.
Survei dilakukan pada 14-22 Oktober dan melibatkan 1.075 responden yang tersebar secara proporsional di 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur. Peneliti menggunakan teknik Multistage Random Sampling, dimana data dikumpulkan dari seluruh kecamatan di Jawa Timur dan dipilih 4-5 kecamatan dari setiap kabupaten atau kota untuk dianalisis.
“Tim kami mengambil jumlah sampel sebanyak 1075 responden yang tersebar secara proporsional di 38 kabupaten/ kota. Margin tingkat toleransi (standart of error / d ) 3% dan tingkat kesalahan (α) penelitian ini adalah 5%. Semenatara itu proses wawancara dilakukan secara by phone menggunakan kuesioner oleh enumerator,” jelas Setiyawan selaku peneliti utama.
Peneliti Utama Radius Setiyawan mengatakan persoalan politik dinasti dalam konteks demokrasi merupakan topik yang perlu dikaji. Politik dinasti mengacu pada reorganisasi kekuasaan melalui model politik baru yang melembagakan kewenangan pemilik modal.
Fenomena ini menyoroti adanya oligarki kekuasaan dan dampaknya terhadap struktur sosial dan kenegaraan dalam demokrasi Indonesia. Dengan mengkaji politik dinasti, masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kekuasaan dikonsolidasikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap dinamika proses demokrasi.
Hasil survei yang dikeluarkan PUSAD dalam seminar tersebut mempunyai arti penting, seperti disampaikan Setiyawan. Hal ini sangat relevan mengingat demografi pemilih di Jawa Timur menjelang pemilu 2024. Terlihat bahwa mayoritas pemilih berada pada rentang usia produktif 17-40 tahun yang mencakup generasi Z dan kelompok pemilih milenial.
Dari total 31.402.838 orang yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Jawa Timur 2024, terdapat 16.001.790 orang yang merupakan pemilih muda. Jumlah ini mewakili 51 persen dari total DPT di Jawa Timur. Statistik ini menyoroti peran penting generasi muda dalam menentukan hasil pemilu mendatang.
“Itu angkanya banyak mas, gimana caranya biar ga lupa ?? Meskipun nanti kita lupa terhadap angka detailnya tidak apa-apa, yang penting kita ingat angka bulatnya itu sudah cukup,” kata Setiyawan
Baca Juga:
Wujudkan Pilkada Pamekasan 2024 Berkualitas, Mappilu PWI Pamekasan Akan Libatkan Masyarakat
Roy Suryo Akan Bongkar Keterkaitan Fufufafa dengan Kemenkop
Diungkap Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes., Fufufafa Mengakui Tidak Pernah Kuliah
“Jadi berdasarkan hasil survei ini ada 26% responden yang menyatakan menerima atau percaya dengan politik dinasti. Sebagian besar dari responden yang percaya ini menerima politik dinasti dengan alasan karena dengan politik dinasti suksesi pembangunan dapat dilanjutkan,” lanjut Setiyawan.
Menurut Setiyawan, anak muda di Jatim punya tujuh alasan menolak politik dinasti. Alasan pertama, 30,60% masyarakat tidak percaya dengan sistem ini karena menghambat proses regenerasi kepemimpinan. Dalam sistem politik dinasti, kekuasaan sering kali diturunkan dalam keluarga yang sama, sehingga dapat menghambat munculnya ide-ide baru dan segar. Kurangnya kesempatan bagi pemimpin baru untuk naik jabatan dapat menghambat kemajuan dan membatasi potensi perubahan dan inovasi.
Alasan kedua yang disoroti Setiyawan adalah 28,00% generasi muda di Jawa Timur tidak mempercayai politik dinasti karena buruknya kinerja pemimpin sebelumnya dan kurangnya dampak terhadap pembangunan. Ketika posisi politik diwariskan dalam sebuah keluarga, tidak ada jaminan bahwa pemimpin yang dipilih akan kompeten atau mampu membawa perubahan positif. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan dan frustrasi di kalangan generasi muda yang ingin melihat perbaikan nyata di komunitas mereka.
Ketiga, 27,00% masyarakat tidak percaya karena menilai hal tersebut menghambat fungsi check and balance antara eksekutif dan legislatif. Kurangnya kepercayaan ini berasal dari kekhawatiran bahwa pemerintah mungkin menyalahgunakan kekuasaannya dan mengambil keputusan tanpa pengawasan yang tepat.
Baca Juga:
Jadi Menteri Kabinet Prabowo Subianto, Veronica Tan: Semoga Saya Bisa Layani Masyarakat ke Depannya
DPC PDI Perjuangan Kota Malang Gelar Rakercabus Diperluas untuk Kemenangan Pilgub dan Pilwali
Keempat, 25,10% masyarakat tidak mempercayai pemerintah karena adanya kecenderungan mendiskriminasi kelompok politik minoritas. Persepsi ini dipicu oleh adanya kelompok-kelompok tertentu yang terpinggirkan atau hak-hak mereka dilanggar berdasarkan keyakinan atau afiliasi politik mereka. Diskriminasi ini mengikis kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk mewakili dan melindungi kepentingan seluruh warga negara.
Kelima, 24,00% masyarakat tidak mempercayai pemerintah karena kinerja pemimpin sebelumnya yang memiliki kedekatan dengan kandidat sehingga berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Ketidakpercayaan ini muncul ketika para pemimpin yang memiliki hubungan pribadi dengan para kandidat lebih mengutamakan kesetiaan dibandingkan prestasi, sehingga mengakibatkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Keenam, 23,10% masyarakat tidak percaya pada pemerintah karena cenderung otoritarianisme. Ketakutan ini berasal dari kekhawatiran bahwa pemerintah mungkin memprioritaskan kontrol dan membatasi kebebasan individu, sehingga menyebabkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.
“Kemudian ada juga 23,10% pemilih muda yang menolak politik dinasti karena kecenderungan mengarah pada otoritarianisme,” ujarnya.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Terakhir, 20,50% masyarakat tidak percaya kepada pemerintah karena dinilai cenderung melanggar HAM. Kurangnya rasa percaya ini muncul ketika tindakan atau kebijakan pemerintah melanggar hak-hak dasar dan kebebasan, seperti kebebasan berpendapat atau berkumpul.
“Pemilih muda ini menolak politik dinasti karena mereka menganggap cenderung melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),” jelasnya.
Setiyawan menyimpulkan, ada beberapa alasan mengapa sebagian besar masyarakat tidak mempercayai pemerintah. Hal ini mencakup kekhawatiran akan terhambatnya evaluasi and keseimbangan, diskriminasi terhadap kelompok minoritas politik, penyalahgunaan wewenang, kecenderungan otoritarianisme, dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Perdebatan soal politik dinasti menurut saya menarik dan bagus bagi tumbuh kembang demokrasi. Karena perdebatan tersebut membuat orang mulia melihat secara serius. Tidak serta merta menolak tetapi tidak serta merta menerima. Mau dari mana asalnya dan silsilah keluarganya, nilai-nilai meritokrasi harus tetap menjadi pegangan,” jelas Setiyawan.
Menurut Setiyawan, alasan penggunaan istilah “percaya” dan “tidak percaya” dalam survei tersebut adalah untuk mengukur penerimaan atau penolakan terhadap politik dinasti di kalangan responden, khususnya pemilih muda. Setiyawan menjelaskan, istilah “percaya” digunakan untuk menunjukkan bahwa responden menerima politik dinasti sebagai norma atau pilihan yang layak dalam kepemimpinan politik.
Di sisi lain, istilah “tidak percaya” digunakan untuk menandakan bahwa pemilih muda menolak gagasan politik dinasti dan malah mencari bentuk kepemimpinan alternatif. Dengan menggunakan istilah-istilah tersebut, Setiyawan bertujuan untuk menangkap sentimen dan sikap responden terhadap politik dinasti secara jelas dan ringkas.
“Jadi percaya itu maksudnya menerima, tidak percaya itu maksudnya menolak. Dalam survei itu kami jabarkan faktor-faktor apa yang membuat responden itu percaya atau menerima, dan faktor apa yang membuat mereka tidak percaya atau menolak,” kata Setiyawan ketika wawancara.
Berdasarkan survei yang dilakukan Pusat Kajian Antikorupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya baru-baru ini, Setiyawan mengatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming unggul tipis atas Ganjar-Mahfud dalam hal popularitas di kalangan masyarakat. pemilih muda di Jawa Timur.
Namun keunggulan ini dianggap tidak signifikan. Survei mengungkapkan, Prabowo mengungguli calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo sebesar 4%. Alasan dibalik hasil tersebut, menurut Setiyawan, belum dapat dipastikan. Penting untuk menganalisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hasil ini untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai preferensi dan sentimen pemilih muda di wilayah tersebut.
“Prabowo-Gibran unggul versi pemilih muda disusul pasangan Ganjar-Machfud dengan selisih yang tidak signifikan (4%) dan ada 10% pemilih muda di Jawa Timur belum menentukan pilihan soal Pilpres 2024,” kata Setiyawan.
Menurut Setiyawan, ada alasan berharap hasil kajian mereka dapat menjadi indikator terpercaya mengenai kondisi demokrasi saat ini, khususnya di Jawa Timur. Dengan memantau elektabilitas generasi muda, yang seringkali dianggap sebagai pemimpin masa depan bangsa, dapat menilai tingkat keterlibatan dan partisipasi dalam proses demokrasi. Oleh karena itu, harapan Setiyawan agar hasil ini menjadi barometer sangat beralasan dan selaras dengan tujuan mendorong demokrasi yang luber (lancar) dan jurdil (adil) di Tanah Air. (Andy Setiawan)***