JATIMRAYA.COM – Kalau berbicara tentang kokohnya kekuasaan ditangan seorang presiden, hampir semua orang di Indonesia nyaris sepakat bahwa kekuasaan Presiden Soeharto lah yang paling kokoh karena mampu bertahan hingga 32 tahun, dengan kendali penuh, walau pada akhirnya jatuh juga melalui peristiwa reformasi 1998.
Bagi gen Z dan milenial yang tidak mengalami peristiwa tsb, perlu mengetahui apa penyebab Presiden Soeharto akhirnya memutuskan mundur dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998?
Alasan (yang bersifat kesimpulan) adalah karena meningkatnya kerusuhan politik dan kekerasan yang menggerogoti dukungan politik dan militer (yang sebelumnya sangat kuat),
Cerita lengkapnya bisa dibaca pada laman:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kejatuhan_Soeharto#:~:text=Meningkatnya%20kerusuhan%20politik%20dan%20kekerasan,Presiden%20Habibie%20yang%20baru%20dilantik
Menurut Aris Santosa (bisa dibaca selengkapnya pada laman: https://www.dw.com/id/konflik-internal-militer-dan-gerakan-mahasiswa/a-65492367 Gerakan Reformasi 1998 yang berujung lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, merupakan “kolaborasi” dari dua gerakan atau medium, yakni ‘konflik internal militer’ dan ‘gerakan mahasiswa’, yang di antara keduanya bisa jadi tidak terhubung secara langsung, tetapi secara resultante menumbuhkan daya kikis brutal dalam waktu sangat singkat (hitungan hari) terhadap kekuasaan politik superior Presiden Soeharto.
Kolaborasi dua gerakan tersebut ada pada momentum yang tepat, ketika krisis moneter melanda Asia yang menyebabkan kurs dollar melonjak puluhan kali lipat, sehingga ekonomi collapse, ditambah peristiwa SARA yang menyebabkan peristiwa tragis jatuhnya banyak korban etnis Tionghoa, sehingga terjadi exodus besar2an.
Berdasarkan pengalaman sejarah yang belum terlalu lama berselang ini, kini kita dihadapkan pada (dugaan analitis dari berbagai pakar dan pengamat) adanya proses pembentukan superioritas kekuasaan oleh Presiden Jokowi, sejak dari pra hingga pasca Pilpres 2024.
Sebagai asumsi, skenario menuju superioritas kekuasaan mungkin sudah terkonsep sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi kedua (awal 2019), ketika pak Prabowo diajak masuk koalisi pemerintah Kabinet Indonesia Maju dengan posisi vital sebagai Menhan.
Episode demi episode skenario superioritas kekuasaan terus berjalan dengan senyap, yang oleh banyak pakar pengamat disinyalir dilakukan melalui ‘kooptasi’ lembaga2 negara strategis seperti KPK, lembaga2 yudikatif, partai2, juga mungkin melalui ormas2 relawan dan sindikasi bisnis (terkait proyek2 nasional strategis dan hilirisasi SDA bernilai tinggi).
Semua kemungkinan halangan terhadap tujuan membangun superioritas kekuasaan ‘dikunci’ antara lain melalui ‘penyanderaan kasus2 pidana’ dan intimidasi atau apapun yang dianggap efektif untuk mengkontrol kekuasaan.
Jika hipotesis tsb dianggap logis, maka peristiwa2 politik yang terjadi kemudian bisa dipakai sebagai afirmasi terhadap proses skenario politik yang sedang berlangsung.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi bisa menjadi penegasan seperti misal: wacana 3 periode; lepasnya pak Jokowi dari ikatan keanggotaan PDIP; pengusulan Gibran RR putera terkasihnya sebagai cawapres bersamaan dengan peristiwa kontroversal di MK pimpinan Paman Usman, anomali ketentuan tata usaha negara di KPU yang terus berjalan ditengah kritikan dan kecaman keras serta gugatan hukum.
Peristiwa politik yang sedang berlangsung heboh dan kontroversal lainnya adalah kasus gugatan SIREKAP di KPU, issue netralitas terkait pengerahan aparat, gugatan abuse of power presiden, gugatan pemanfaatan BLT dan Bansos untuk tujuan politik elektoral.
Dan yang paling mutakhir adalah adanya dugaan Presiden Jokowi membangun legalitas posisi politiknya di Golkar. Mungkin tidak menjadi Ketua Umum, tetapi menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar (seperti ketika Presiden Soeharto adalah juga Ketua Dewan Pembina Golkar dengan kekuasaan penuh).
Pada titik ini, nampaknya pak Jokowi memainkan peran seperti pak Harto, hanya bedanya Presidennya tidak dipegang langsung, tetapi melalui ‘batu loncatan’ pak Prabowo, karena suksesor berikut adalah Gibran RR.
Sungguh skenario yang terkonsep dan runtut mensiasati proses demokrasi yang ‘disesuaikan’ (adjusted democracy).
Menurut banyak penilaian orang, tampak luar memang seperti proses demokrasi yang beradab, tetapi didalamnya banyak sisi2 gelap pelanggaran etika dan moral yang sulit diperkarakan.
Kembali kepada hal kronologis kejatuhan Soeharto dalam Wikipedia, dan hipotesis Aris Santosa bahwa kejatuhan kekuasaan superior bisa terjadi ketika ada kolaborasi konflik internal militer dan gerakan mahasiswa serta sikon krisis yang mendukung.
Maka yang menarik untuk dianalisis terhadap superioritas pak Jokowi saat ini adalah apakah gerakan massa, mahasiswa, perlawanan para Guru Besar, cukup bisa menjatuhkan Presiden Jokowi melalui Hak Angket, pemakzulan dan bahkan penggulingan?
Sepertinya sulit ketika Presiden Jokowi sudah memegang kontrol penuh lembaga2 negara, dan kekuatan militer dan POLRI solid mendukung Presiden Jokowi.
TNI tentu tetap memegang teguh Sapta Marga dan POLRI memegang teguh Tribrata dan Catur Prasetya karena menyangkut kehormatan lembaga, tetapi disisi lain Presiden adalah Kepala Negara dan Panglima Tertinggi.
Sulit bagi mata awam melihat apakah bisa ada conflict of interest dalam tubuh TNI dan POLRI? Awam hanya bisa berharap sambil berdoa semoga profesionalisme tetap terjaga teguh.
Beberapa waktu lalu gerakan sipil yang eks perwira2 tinggi TNI dan POLRI memberikan krtitik dan ultimatum keras terhadap kemunduran demokrasi dan pelanggaran etika dan moral serta kecurangan dalam proses pemilu dan pilpres 2024.
Adakah hal ini menunjukkan kemungkinan adanya konflik internal dalam tubuh TNI dan POLRI? Normatifnya jawabannya pasti ‘Tidak Ada’. Tapi TNI dan POLRI lahir dari rakyat. Tentu ada ‘hubungan batin’ yang sangat kuat dengan rakyat (baca amanat penderitaan rakyat) untuk mampu menjaga mental dan jiwa profesionalisme diantara perwira tinggi, perwira menengah hingga prajurit, seandainya ada konflik internal karena tekanan politik praktis dari para penguasa maupun para oligarki dalam sistem plutokrasi.
Ooh pikiran nakal tiba2 muncul. Apakah issu kemungkinan konflik internal ada kaitannya dengan peristiwa pemberian bintang ke-4 kepada pak Prabowo yang kontroversal? Apakah ini bak memancing reaksi dari para perwira petinggi yang aktif? Maksudnya yang protes pasti kubu lain sehingga perlu diwaspadai? Aah entahlah. Apa sich artinya tambah bintang bagi superioritas pak Jokowi? Apa ada udang dibalik batu? Jangan2 gak ada udangnya tapi kepiting.
Mengakhiri kajian analisis ini, kita belajar dari dalil bahwa tidak ada kekuasaan yang langgeng, karena kekuasaan milik Tuhan. Tidak ada kekuasaan se superior apapun tanpa keruntuhan.
Saya tercenung, dan entah kenapa jari2 tangan saya tiba2 membuka google dan menemukan link catatan sejarah di https://www.liputan6.com/global/read/748276/5-diktator-yang-mati-dengan-tragis-dan-penuh-penghinaan Hati saya tersentak…dan hp saya tutup, terus saya berangkat tidur, tapi nggak bisa tidur, harap2 cemas apa yang akan terjadi di negeri Indonesia tercinta ini? Sebentar2 saya buka google sambil tiduran, kalau2 ada berita peristiwa nasional yang mengkonfirmasi kecemasan saya…
Wallahualam.
Oleh: Hadi Prasetyo, pengamat sosial – politik
(Andy Setiawan)***