Oleh: Hadi Prasetyo, pemerhati sosial politik
JATIMRAYA.COM – Selamat untuk Prabowo-Gibran yg memenangkan konstetasi Pilpres 2024, semoga sukses menjalankan amanah rakyat.
Terkait dengan hal itu, artikel analisis politik ini mencoba memberikan catatan bahwa kemenangan yang telah diraih itu masih menghadapi stigma politik secara luas dalam masyarakat terutama terkait issue delegitimasi politik, karena banyaknya hard evidences berupa jejak-jejak digital hal dugaan kecurangan, pelanggaran etika, rekayasa hukum perundangan dan penggunaan kekuasaan berbagai institusi negara dalam prosesnya.
Jejak digital yang sesungguhnya tidak mudah hilang dari ingatan maupun emosi kekecewaan rakyat yang berkeyakinan ideologis tentang demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat.
Lalu, apakah kemenangan ini akan membawa kestabilan politik nasional? Menurut saya belum tentu, dan bahkan saya cenderung berpikir tidak! Kenapa? Analisis politik ini mencoba mengurainya sebagai berikut.
Pertama, akan ada oposisi tulen dan kuat di parlemen sebagai perimbangan kekuasaan eksekutif. PDIP yang memenangkan kursi parlemen di 2024 ini akan tetap menduduki Ketua DPR dan mungkin sekaligus Ketua MPR (yg saat ini ‘diberikan’ kepada Golkar), serta didukung Nasdem, PKB, PPP, dan PKS sebagai oposan baru.
PDIP sudah terbiasa dan tahan banting berada di posisi oposisi sejak jaman Orba maupun di era SBY 2004-2014.
Belum lagi bila eks partai-partai pendukung PraGib melakukan repositioning dan rekonsolidasi untuk kepentingan partainya sendiri menghadapi pemilu 5 tahun kedepan.
Eks pendukung ini sangat potensial memainkan ‘dua kaki’ ketika dalam kabinet baru bentukan PraGib nanti tidak memperoleh reward yang memuaskan atas jasa mereka mendukung pemenangan PraGib.
Alhasil kebijakan Presiden Prabowo akan menghadapi perlawanan super kritis terhadap berbagai kebijakan dan program. Eksekutif akan kesulitan untuk menambah hutang ala Jokowi, dan merekayasa UU.
Kedua, koalisi Indonesia Maju, cepat atau lambat akan mengalami gesekan kepentingan dan perebutan posisi strategis internal, bukan saja antar partai, tetapi juga dengan para relawan, serta para jenderal-jenderal purnawirawan yang merasa berjasa.
Tidak mudah berlaku adil dan memuaskan semua pihak, apalagi bila berebut APBN dan fasilitasi bisnis2 investasi ala ‘crazy rich’ , berebut harta, proyek dan sumber daya alam strategis.
Ketiga, Koalisi Indonesia Maju mungkin akan diserang bertubi-tubi oleh berbagai elemen masyarakat yg kecewa dengan politik dinasti terkait dugaan skandal-skandal mega korupsi yang saat ini sudah mulai intensif disuarakan.
Keempat, agenda para Guru Besar dan mahasiswa se Indonesia tentang pelurusan demokrasi (jujur adil) jurdil dan bermartabat akan terus berlangsung dengan agenda pemakzulan Presiden Jokowi, walau Jokowi mungkin masih bisa bertahan hingga pelantikan presiden baru.
Agenda ini mungkin akan menarik para eks-eks relawan militant Amin dan Gama yang sakit hati ditambah massa silent majority yang awalnya tertarik money politic dan saat ini uangnya sudah habis demikian pula bansosnya. Bergeser jadi kekecewaan dan potensi kemarahan untuk perlawanan.
Kelima, kondusifitas politik yang demikian akan menyulitkan pogram untuk memperkuat middle class economy (terjebak dalam middle class income trap) dalam masa bonus demografi yang berakhir 2030an. Hal ini menyebabkan impian Indonesia Emas 2045 menjadi fatamorgana karena politik praktis yang sangat pragmatis.
Keenam, merujuk peryataan terbuka Connie Rahakundini, tentang skenario Prabowo yang hanya akan menjabat Presiden 2-3 tahun dan digantikan Gibran, sebagai designated dynastic president untuk periode 2024-2029. Issue ini boleh dianggap rumor tapi juga bisa jadi hal yang serius.
Apapun, ini akan menjadi ‘babak baru’ kemungkinan gesekan internal tingkat tinggi antara faksi Prabowo dengan faksi Jokowi, begitu PrabGib dilantik 20 Oktober 2024.
Prabowo yang sudah babak belur puluhan tahun sebagai pecundang cawapres dan capres, tentu tidak ingin euforia kejayaan presidensinya hanya sebagai ‘boneka’. Apalagi para veteran Orba akan mendukung penuh kejayaan era Soeharto secara murni, bukan hanya sebagai bayang-bayang dan boneka.
Ketika Prabowo mengawali periode presidensinya, Gibran mungkin sudah akan dipandang sebagai ‘beban’ dan sekaligus ‘batu sandungan’.
Gesekan akan bisa menjadi konflik dan saling menguasai, bahkan meniadakan. Itu hal yg logis dalam politik kekuasaan.
Bisa dibayangkan seperti kisah sejarah suksesi kerajaan Singosari dengan lakon keris Empu Gandring.
Yang menjadi pertanyaan saat ini keris Empu Gandring sedang dipegang siapa?
(Andy Setiawan)***